Sebuah renungan tentang REVOLUSI ASIA


22062008452

AAku, dalam keheningan sunyi setelah Sholat Jumat, di sebuah mesjid Maroko mungil nan indah di kaki pegunungan Taunus nan eksotik di musim dingin. Konon khabarnya, komunitas kecil Maroko disini punya hak guna sewa bangunan selama 30 tahun. Lalu mereka sumbangan swadaya memperbaiki bangunan tua menjadi tempat ibadah: mesjid! Biaya hasil sumbangan tersebut sebesar 3 juta Euro (kalikan 12.000 IDR atau sekitar 36 Milyar IDR). Jika hak guna mereka selama hanya 30 tahun atau 360 bulan, artinya tiap bulan penyusutan nilai mesjid tersebut 100 juta. Bisa dibayangkan kekuatan finansial masyarakat Maroko di kaki Pegunungan Taunus kota kecil nan indah ini…

Tapi aku tidak sedang bicara tentang biaya membangun mesjid. Aku sedang bicara dalam kesunyian tersebut sebuah buku inspirasi setebal 275 halaman berhasil kulahap: “Die asiatische Revolution – Wie der “Neue Osten” die Welt verändert. Revolusi Asia – Bagaimana “Timur Baru” merubah dunia. Ditulis oleh Andreas Lorenz, korenponden senior Der Spiegel untuk Asia Pasifik. Buku yang bercerita tentang kebangkita China, India, negara Asia Timur lainnya serta Asia yang akan merubah dunia dan menyelamatkan barat dari krisis. Membaca buku tersebut jelas sebuah pujian barat bahwa kendali dunia kelak ditangan Asia.

TAPI Ada 1 paragraf yang membuat sudut mataku tanpa mampu kuceggah berkaca pada bagian “Goldenes Dreieck und dunkle Löcher” (Segitiga Emas dan Lobang Hitam):

…Jakarta, eine der wichtigsten Metropolen Asiens, die Hauptstadt Indonesiens. Die Wirtschaft des Landes wuchs 2010 mit 6,1 Prozent kräftiger, als es die Regierung erwartete. Doch Anfang 2011 wurden Lebensmittel immer teuer und teurer, was viele Menschen in Bedrängnis brachte. Von asiatischer Romantik ist in vielen Ecken der Metropole wenig zu spüren. In der Nähe des “Goldene Dreiecks””, in dem Banken und Edelhotels ihr Quartier aufgeschlagen haben, leben Menschen Wellblech-Verschlagen. Die Abgase der vielen Autos rauben einem Atem. Auf den Bürgersteigen in der Wahid-Hasyim-Straße im Zentrum Jakartas, nahe dem Freiheitsdenkmal, drängen sich Straßenhandler und Bettler. Prostituierte, sehr jung und sehr alt, männlich, weiblich, Transvestiten, warten auf Kunden. Garküchen braten Nudeln und Fleischklöße, das Geschirr wird in Eimern gewaschen.

Terjemahan ngawurnya kira-kira begini:
…Jakarta, salah satu kota besar terpenting di Asia, Ibukota Indonesia. Ekonomi nasional tumbuh 6,1 persen di tahun 2010, lebih tinggi dari perkiraan pemerintah. Tetapi awal tahun 2011 sembako semakin mahal dan bertambah mahal, yang menjurumuskan masyarakat banyak dalam jurang kesulitan. Dari keindahan romantis Asia diberbagai sudut kota, ternyata sentuhan itu terlalu hambar terasa. Di dekat area “Segitiga Emas”, dimana Perbankan dan Hotel mewah tumbuh menjamur, tidak lebih membuat hidup banyak orang dalam tipu daya. Asap knalpot berbagai kendaraan bermotor menyesakan paru-paru. Dari trotoar Jalan Wahid Hasyim di pusat Jakarta menuju Monumen Kebebasan, penuh sesak dengan pedagang kaki lima dan pengemis. Pelacuran, anak-anak ABG serta (pelacur) tua jompo, lelaki, perempuan, waria, semua menanti para “pembeli” (jasa sex). (Bercampur) Pedangan Mie Goreng dan Bakso, yang hidangan makanannya dicuci di dalam ember…

Suasana yang begitu kontras begitu getir. Masyarakat komunitas kecil imigrant Maroko yang tinggal di bukit Taunus kota Kecamatan Schwalbach Jerman, mampu mengeluarkan uang sumbangan 100 juta per bulan untuk memakmurkan mesjid mereka sehingga aku bisa begitu nyaman melahap buku inspiring ini. Saat bersamaan, nun jauh di sana di negeri indah rayuan Pulau Kelapa, Andreas Lorenz secara “kurang aja” menuliskan realitas pahit kota kelahiranku; Jakarta!

Aku ingin pulang. Aku kangen kota lahirku tapi apa yang bisa kulakukan?

Dari Tepian Lembah Sungai Main
Kaki Pegunungan Taunus – Bad Soden
Dalam Kebekuan Musim Salju

Ferizal Ramli

Tinggalkan komentar